Mataram NTB - Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Cabang Provinsi NTB, menggelar diskusi dengan tema "Sejauh Mana Peran Perempuan dalam Program Kerja Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur NTB". Diskusi berlangsung di Kota Mataram, Sabtu (09/11/2024).
Dalam diskusi tersebut, FJPI Cabang NTB menghadirkan narasumber akademisi sekaligus Ketua Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah (PWNA) NTB, Miftahul Jannah dan pegiat gender dan pengamat politik dari UIN Mataram, Purnami Safitri.
Ketua FJPI Cabang Provinsi NTB, Linggauni mengungkapkan bahwa pembahasan tentang perempuan dari ketiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur NTB cukup minim. Sehingga perlu dibahas dan didiskusikan, dengan harapan dapat menjadi perhatian dari ketiga paslon.
"Kita bisa cari di internet, apa saja yang dibahas oleh ketiga paslon di dalam berita. Pembahasan tentang program kerja yang melibatkan perempuan itu masih sangat minim. Padahal persoalan perempuan di NTB ini sangat kompleks, " ujar Lingga.
Baca juga:
Ilham Bintang: Ya Ampun, Presiden
|
Menurutnya, diskusi dengan mengangkat tema semacam ini, masih sangat jarang dilakukan. Kondisi tersebut menjadi salah satu keresehan para jurnalis perempuan di NTB.
“Pertanyaan kita, kenapa ya persoalan perempuan ini jarang sekali disinggung atau masuk menjadi topik utama program kerja calon kepala daerah ini. Padahal di NTB sendiri, DPT (daftar pemilih tetap, Red) lebih banyak perempuan, ” ujarnya.
Dari fakta tersebut, sudah selayaknya, peran perempuan harus tertuang secara jelas dan gamblang di dalam program kerja kepala daerah yang akan memerintah selama lima tahun kedepan.
“Inilah tujuan dari diskusi kami, membedah program kerja para calon kepala daerah, khususnya calon gubernur dan wakil gubernur NTB, sejauh mana mereka melibatkan perempuan di dalam program pembangunan dalam lima tahun kedepan, ” pungkas editor media IDN Times NTB ini.
Baca juga:
Tony Rosyid: Anies untuk Semua
|
Sementara itu, Akademisi sekaligus Ketua PWNA NTB Miftahul Jannah mengatakan setelah membedah berbagai program kerja yang sudah tertuang di dalam visi–misi ketiga pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur NTB, tidak ada satu pun di antaranya yang menjelaskan secara eksplisit dan jelas mengenai peran perempuan.
“Dari ketiga calon, tidak menyebutkan secara jelas dan spesifik program kerja. Padahal perempuan salah satu pemilih produktif. Kalau melihat jumlah penduduk NTB sekarang, rasionya 51 persen perempuan dan 49 persen laki-laki. Di DPT pun masih didominasi perempuan, jadi pemilih perempuan sangat menjanjikan, ” jelasnya.
Kondisi ini sangat menyita perhatiannya, bahkan kerap menimbulkan tanda tanya. “Apakah kemudian perempuan NTB tidak memiliki kapasitas? Di dalam politik, ekonomi dan sosial? Apakah perempuan NTB tidak layak untuk menempati posisi strategis?, ” ujar Miftah.
Menurutnya, apabila perempuan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk pembangunan daerah, hal tersebut jelas tidak dibenarkan. Tentu ini akan berdampak pada Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Dari hasil survei 2022-2023, IDG NTB berada di posisi 34.
“Kita masih di bawah Papua, IDG ini dilihat dari partisipasi perempuan dalam ranah politik, pendidikan dan ekonomi, ” terangnya.
Sedangkan keterwakilan perempuan di parlemen, juga berada di posisi 34 dari 34 provinsi dan mendapatkan 1, 5 poin. Berikutnya, Indeks Ketimpangan Gender, Bumi Gora berada di posisi pertama dari 34 provinsi, memiliki 0, 6 poin. Artinya, menurut Miftah, ada kesenjangan yang sangat jauh antara keterlibatan perempuan dengan laki-laki.
“Saya rasa ini pertanyaan untuk kita semua, kenapa para calon tidak menjadikan persoalan perempuan ini sebagai isu krusial, padahal sebenarnya isu perempuan adalah isu yang paling meningkat saat sekarang, ” kata Miftah.
Baca juga:
Tony Rosyid: Gagal Dipukul, Anies Dirangkul
|
Menurut Miftah, visi-misi yang dihadirkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur NTB ini masih bersifat umum. Belum menyentuh hal yang paling fundamental perihal perempuan.
Miftah menyebutkan ada sejumlah kemungkinan yang menyebabkan hal tersebut masih terjadi. Paling mendekati itu, mereka (para paslon) tidak memiliki pengalaman pribadi dengan isu-isu perempuan.
“Kekerasan seksual, pernikahan dini, tingginya angka stunting, isu perempuan sebagai kepala keluarga, isu pekerja migran Indonesia, ini semuanya berkenaan dengan perempuan, ” ujar Miftah.
Menurutnya, memerhatikan kepentingan perempuan harus menjadi isu utama. Karena perempuan pasti menjadi eksekutor program kerja pemerintah di tingkat akar rumput.
“Sebenarnya memasukkan perempuan di dalam isu program kerja bukan sesuatu yang tidak mungkin, dan ini sebenarnya memberikan nilai tawar yang lebih besar karena perempuan adalah pelaksana. Tetapi belum dimaksimalkan, ” tandasnya.
Hal senada disampaikan oleh Akademisi UIN Mataram sekaligus Pegiat Gender dan Pengamat Politik, Purnami Safitri. Ia melihat masih minim pembahasan tentang persoalan perempuan dari ketiga paslon, meskipun dua paslon memiliki calon perempuan.
Pemangku kepentingan masih melihat kapasitas perempuan dan keterlibatannya di ruang-ruang publik, lebih banyak diberikan pada peran gender traditional.
“Contohnya di organisasi desa, laki-laki senang kalau ada anggota perempuan, karena senang dibuatkan kopi, teh atau semacamnya, padahal sesama anggota organisasi, posisi mereka setara, ” terang akademisi yang akrab disapa Nami ini.
Menurutnya, meski perempuan aktif di organisasi kemasyarakatan, jarang menempati posisi yang sangat strategis. Sehingga ketika posisinya tidak berada di ranah pengambilan kebijakan atau keputusan, akhirnya program kerja yang dirancang oleh organisasi tersebut, berjalan seperti apa adanya. “Tidak pernah benar-benar mempertimbangkan kepentingan perempuan, ” ujarnya.
Bukan tidak mungkin, kondisi serupa juga terjadi di lingkup pemerintah daerah (pemda). Karenanya, ia berharap, peran dan keterlibatan perempuan harus menjadi isu strategis bagi pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur NTB.
Di samping itu, Nami juga mengingatkan, calon kepala daerah jangan selalu bertindak sebagai kepanjangan tangan partai politik (parpol) pendukung. Sebab parpol itu tidak ideologis namun bersifat pragmatis.
“Calon kepala daerah kita seharusnya memiliki kebijakan yang kuat, bagaimana mereka mengangkat tema perempuan yang kemudian itu dituangkan secara rinci di program kerja, ” tandasnya. (Adb)